Posted by: retarigan | November 30, 2011

Apakah Anda Menyayangi Diri Sendiri dengan Persyaratan Tertentu?


Ada konsekuensi lain dari sikap mengulur-ulur waktu. Anda jadi menunda tumbuhnya rasa percaya dan keteguhan diri yang dicari selama ini, dengan berjanji kepada diri sendiri: “Saya baru merasa tenteram bila …” Silakan Anda isi titik-titik itu. Pasti bahwa semua “bila …” itu adalah segala hal yang Anda harap akan terjadi di kemudian hari. Hal-hal yang belum terjadi saat ini pada diri Anda. Namun sebenarnya, hal-hal itu pula yang menyebabkan Anda tidak dapat merasakan percaya diri, ataupun bersikap positif terhadap diri sendiri pada saat ini.

Berikut ini adalah contoh yang sering terjadi: SAYA BARU MERASA TENTERAM …

bila saya sudah punya usaha sendiri.

bila saya lebih langsing 10 kilo.

bila saya sudah punya pacar.

bila gaji saya Rp 5 juta sebulan.

bila saya tidak punya utang sepeser pun.

bila ibu saya bisa mengerti kenyataan diri saya.

bila hubungan saya dengan suami bisa hangat kembali.

bila saya naik pangkat.

Dengan kata lain, saya baru akan merasa tenteram, memiliki rasa percaya diri, dan mencintai diri saya, bila semua keinginan saya sudah terpenuhi.

Memang tidak ada salahnya merasa puas bila mencapai sukses. Berbangga diri adalah hal yang wajar pula. Tetapi, Anda akan merugikan diri sendiri, bila harus mencapai sukses dulu sebelum diri Anda merasa tenteram. Inilah yang dimaksud dengan menyayangi diri secara bersyarat: “Saya baru menganggap diri saya baik bila saya telah memenuhi persyaratan tertentu. Sebelum hal itu terpenuhi, saya akan tetap benci pada diri sendiri.”

***

Bayangkan, andaikata Anda punya atasan yang menjanjikan bonus prestasi bila Anda berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan baik. Dia memberi Anda daftar pekerjaan yang harus diselesaikan, dan Anda pun melakukan semuanya sesuai perintah. Namun setelah selesai, atasan Anda berkata: “Ah, maaf, saya lupa memberitahukan bahwa masih ada beberapa hal lagi yang harus Anda kerjakan sebelum bonus itu saya berikan.”

Jika seseorang memperlakukan Anda seperti itu, Anda pasti marah bukan? Namun tanpa disadari, sebenarnya kita selalu melakukan hal yang sama terhadap diri sendiri. Menurut Anda: “Saya akan merasa tenteram bila saya lulus, atau membangun usaha sendiri, atau sudah punya anak.” Tetapi, setelah memperoleh itu semua, diri kita akan mengatakan: “Memang hal-hal yang saya capai itu telah membuat diri saya puas, tetapi masih ada lagi yang harus saya capai sebelum saya merasa betul-betul puas.”

***

Mungkin pula Anda pernah menjalin hubungan asrama dengan seseorang, tetapi dia selalu memberi persyaratan tertentu. Dia mengajukan syarat demi syarat yang harus Anda penuhi untuk mendapatkan cinta kasihnya. Misalnya dengan berkata: “Saya akan segera melamar kamu jika kamu sudah lebih langsing.” Lalu Anda pun berusaha menurunkan berat badan. Setelah langsing dan molek, bukannya pujian yang Anda peroleh, melainkan komentar seperti ini, “Memang lumayan kamu kini sudah langsing, tetapi saya tidak yakin apakah prinsip mencapai hidup sehat kita itu sama. Sebaiknya, kamu juga mengubah cara makan kamu.” Lagi-lagi Anda menurutinya, dan mulai mengubah cara makan Anda. Dan seperti yang telah diduga, persoalannya belum juga berakhir. Pacar Anda masih saja berdalih: “Memang saya setuju kita segera menikah setelah kamu berhasil memperbaiki penampilanmu. Tapi, terus terang, saya sungguh khawatir apakah sebenarnya kamu secara emosi sudah siap.”

Orang seperti ini memperlakukan Anda seperti layangan, dan Anda membiarkan diri Anda ditarik dan diulur sesuka hatinya.

Jika teman Anda mengalami hal seperti itu, mungkin Anda akan menanggapinya dengan mengatakan: “Tinggalkan saja pacarmu itu. Dia ‘kan brengsek. Kalau saya, pasti ogah diperlakukan seperti itu oleh siapa pun. Segala yang kamu lakukan tidak akan pernah memuaskan dia.” Namun sayangnya, Anda sendiri menyayangi diri sendiri dengan cara yang sama. Anda saying pada diri sendiri kalau telah berhasil mencapai sesuatu, bukan karena telah melakukan sesuatu.

Contohnya, adalah cerita sahabat saya tentang suaminya. Bob adalah seorang pengacara yang suka lari pagi. Dia menetapkan sendiri target bahwa dirinya bisa berlari sejauh 1,6 kilometer dalam waktu empat menit. Dia yakin, bila target itu tercapai, aka nada semacam kebanggaan pada dirinya. Tetapi, hingga saat sini Bob belum mampu menempuh jarak itu dalam empat menit, melainkan lima menit. Jadi, setiap pagi, dia bangun, lari, dan setiap  kali melihat stopwatch-nya, dia mengalami depresi. Dia merasa seperti seorang pecundang. Bahkan dia tidak lagi menikmati lari paginya, karena terpaku pada target 1,6 km dalam empat menit.

Istri Bob mengadukan hal tersebut kepada saya, bahwa target lari tersebut telah mengganggu hubungan mereka. “Bob selalu merasa sebagai seorang pecundang,” ungkap sahabat saya. “Setiap kali saya mengatakan padanya bahwa saya jenuh melihatnya selalu murung, dia jawab begini: ‘Kalau saya berhasil mencapai 1,6 km dalam empat menit, semuanya tentu akan kembali beres. Saya hanya merasa perlu melakukan ini, demi diri saya sendiri.’”

Bob tidak menyadari bahwa dia mencintai dirinya dengan persyaratan. Dia mengukur dirinya dengan suatu target yang bahkan mungkin tidak bisa dia capai. Seharusnya dia bisa merasa percaya diri karena telah tekun lari pagi dan menjaga kebugaran tubuh, bukan malah melecehkan diri sendiri. Hal ini jelas merugikan pribadi Bob maupun istrinya.

Sebenarnya, Bob punya banyak hal yang dapat membuatnya merasa hebat. Namun masalahnya, dia tidak mengerti mengenai rasa percaya diri yang  sejati. Dia tidak sadar bahwa untuk memiliki rasa percaya diri, tidak perlu harus mencapai suatu target terlebih dulu. Dia bisa merasakan dan memilikinya, sekarang juga.

Sumber:  Barbara de Angelis, Confidence (Percaya Diri): Sumber Sukses dan Kemandirian, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000


Leave a comment

Categories