Posted by: retarigan | November 27, 2011

Hakikat Kepercayaan Diri Sejati


Hakikat  Kepercayaan Diri Sejati

Kepercayaan diri sejati tidak ada kaitannya dengan kehidupan lahiriah Anda. Ia terbentuk bukan dari apa yang Anda perbuat, namun dari keyakinan diri, bahwa yang Anda hasilkan memang berada dalam batas-batas kemampuan dan keinginan pribadi.

Kepercayaan diri sejati senantiasa bersumber dari nurani; bukan dibuat-buat. Kepercayaan diri berawal dari tekad pada diri sendiri, untuk melakukan segala yang kita inginkan dan butuhkan dalam hidup. Ia terbina dari keyakinan diri sendiri, bukan dari karya-karya kita, walaupun karya-karya itu sukses.

Kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan dalam jiwa Anda sebagai manusia – bahwa tantangan hidup apa pun harus dihadapi dengan berbuat sesuatu. Bukan masalah berbuat sesuatu itu yang penting, namun kesediaan Anda untuk melakukannya. Jika sebagai manusia Anda yakin pada diri sendiri, maka apa pun tantangan hidup ini akan Anda hadapi. Jadi, bukan kepercayaan diri karena kemampuan mengerjakan sesuatu, misalnya kepiawaian sebagai pengacara atau musikus; namun percaya diri karena kemampuan Anda menghadapi segala tantangan hidup. Mudah-mudahan Anda sudah paham bedanya sekarang.

Sama seperti kebanyakan orang, awalnya saya pun mendasarkan rasa percaya diri itu pada kemampuan saya mengerjakan sesuatu. Jika saya berhasil, saya merasa percaya diri. Tetapi hal itu hanya berlangsung sementara, hingga saya mulai lagi dengan tantangan baru yang hasilnya kurang memuaskan. Lalu, secepat itu pula rasa percaya diri saya hilang. Misalnya, ketika seminar yang saya selenggarakan ternyata dihadiri oleh 500 orang, saya merasa percaya diri saat itu. Namun, saat seminar saya hanya diikuti oleh 70 orang, saya merasa kecewa dan penuh ragu. Hal-hal seperti ini terus bergulir dalam hidup saya – jika salah satu buku saya habis terjual dalam seminggu, saya merasa senang. Tetapi jika di minggu berikutnya, buku saya turun dari daftar Best Seller, merosot pula rasa percaya diri saya. Persis seperti jetkoster yang naik turun tanpa henti. Namun saya pun percaya, itulah yang terjadi dalam kehidupan banyak orang.

Ironisnya, raya percaya diri yang bergantung pada baik-tidaknya hasil dari tujuan atau impian saya di dunia ini, malah membekali saya dengan hilangnya rasa percaya diri itu! Lagi pula, saya tentu tidak bisa mengendalikan cara dunia semesta ini menjawab keinginan saya. Secara logika  pun saya tidak yakin, bahwa saya akan selalu mendapatkan hasil yang saya inginkan dalam hidup ini. Pasti tidak segampang itu pula dunia bisa diatur. Yang jelas, saya tidak selalu bisa memastikan akan memperoleh hasil yang positif atas segala upaya yang telah saya lakukan.

Tetapi ada satu hal yang bisa saya andalkan: Saya bisa mengandalkan komitmen pada diri sendiri – untuk selalu bersungguh-sungguh pada semua keinginan, dan melakukan segala yang dibutuhkan hingga semua keinginan menjadi kenyataan. Saya bisa mengandalkan tekad untuk mengetahui apa yang harus dilakukan, lalu melaksanakannya. Dari situlah rasa percaya diri itu saya peroleh. Saya memiliki rasa percaya diri atas kemampuan saya untuk melakukan apa pun yang harus dikerjakan.

Apakah yang saya lakukan akan selalu berhasil positif? Belum tentu. Apakah saya akan mencapai semua yang saya targetkan? Jawabnya: tidak. Namun itu bukan masalah, karena rasa percaya diri saya tidak bertolak dari hasil yang saya peroleh. Rasa percaya diri saya berakar pada fakta, bahwa saya telah melakukan seperti yang saya tekadkan.

Bila rasa percaya diri itu dilandaskan pada jati diri Anda, bukan pada suatu keberhasilan, Anda telah menciptakan sesuatu yang tidak bisa direnggut oleh apa pun, atau oleh siapa pun.

Ada satu alasan lagi untuk tidak mengasalkan rasa percaya diri sejati dari suatu sukses. Betapa pun piawainya Anda melakukan suatu pekerjaan, Anda hanya akan memperoleh rasa percaya diri atas kemampuan melakukan hal yang satu itu saja. Jadi, bila Anda mencoba melakukan hal baru, sesuatu yang belum Anda kuasai, rasa percaya diri yang sudah Anda miliki langsung tidak berguna lagi. Karena Anda menjadi tidak yakin atas kemampuan Anda melakukan pekerjaan baru tersebut.

Hal ini mengingatkan saya ke awal tahun ketika saya memutuskan untuk menulis buku pertama saya. How to Make Love All the Time (Cara Bercinta Sepanjang Waktu). Benar memang, bahwa saya adalah penyelenggara seminar yang sukses. Saya pun percaya diri atas kemampuan saya mengumpulkan orang untuk beramai-ramai hadir dan mengikuti seminar akhir pekan saya yang dianggap berbobot itu. Tetapi, menulis buku? Saya belum pernah. Dan hal itu sungguh menakutkan.

Saya sempat berpikir: Memang benar, saya tahu bagaimana menyelenggarakan seminar yang “wah”, tapi saya buta soal menulis buku. Dari mana saya harus mulai? Bagaimana kalau saya tidak bisa menyelesaikannya? Apa jadinya kalau saya Cuma dianggap tolol oleh orang lain?

Semua kepercayaan diri atas sukses saya menyelenggarakan seminar, tidak secuil pun mampu mengurangi ketakutan saya menjadi seorang penulis. Rasa percaya diri itu tidak bisa disama-ratakan dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya.

Mengapa saya jadi begitu takut? Ketakutan itu bukan karena saya belum pernah menulis buku, tetapi ternyata karena saya tidak berorientasi pada rasa percaya diri yang sejati. Saat itu saya mengira, bahwa saya tidak bisa menumbuhkan rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, sebelum benar-benar mahir – seperti menulis buku itu. Padahal, saya tidak menyadari arti sesungguhnya dari rasa percaya diri sejati, sampai buku pertama saya selesai saya tulis (bahkan menjadi best seller nasional). Karena waktu buku kedua akan saya mulai, saya jadi berpikir: buku pertama sukses, jadi mustinya saya tidak usah takut lagi menulis buku-buku berikutnya. Namun, apa yang terjadi? Saya tetap merasa takut. Benak saya dihantui berbagai pikiran seperti, Buku pertama memang sukses, tapi buku kedua topiknya amat berbeda. mungkin saya tidak akan mampu menulis buku kedua ini sebaik yang sebelumnya. Bagaimana kalau masyarakat sebenarnya tidak suka topik ini? Berbagai pertanyaan seperti it uterus berkecamuk tanpa henti.

Begitu lama waktu yang saya butuhkan dan begitu banyak energy yang terkuras untuk menemukan dan menyatu dengan sumber rasa percaya diri sejati. Rasa percaya diri itu tidak bertolak dari keyakinan, bahwa saya adalah seorang penulis yang mampu tampil di jajaran best seller. Atau, bahwa saya adalah seorang penyelenggara seminar yang mampu menghimpun ribuan orang untuk mendengarkan ceramah saya. Atau, bahwa saya adalah bintang acara pesan sponsor TV yang mampu memenangkan penghargaan. Semua keberhasilan itu membuat saya bangga dan puas atas pekerjaan saya. Tetapi semua itu tidak dengan sendirinya bisa memberi rasa percaya diri yang saya butuhkan. Rasa percaya diri itu lahir dari kesadaran bahwa jika saya memutuskan untuk melakukan sesuatu, sesuatu itu pula yang akan saya lakukan.

Saya merasa percaya diri bukan karena saya pandai. Namun karena saya tahu bahwa saya akan mempelajarinya, dan belajar segalanya agar pekerjaan itu bisa diselesaikan. Saya percaya diri bukan karena saya tahu bahwa saya mampu menulis buku secara menarik mengenai apa pun, melainkan karena saya percaya pada komitmen saya untuk duduk di depan komputer dan mulai menulis; lalu merobek apa yang telah saya tulis dan menulisnya lagi; menunjukkannya kepada orang lain dan menangis bila mereka mengatakan bahwa karya saya kurang sempurna. Kemudian saya akan kembali lagi menulis, hingga akhirnya saya bisa menyelesaikannya dengan baik dan benar.

Rasa percaya diri sejati saya lahir dari keinginan dan tekad. Saya memiliki rasa percaya diri pada keinginan bahwa jika sebagai manusia saya menghendaki sesuatu, saya akan belajar untuk mendapatkannya. Saya akan terus berusaha dan belajar dari kesalahan yang saya buat, hingga merasa puas dengan cara saya melaksanakan pekerjaan baru tersebut. Dan, walaupun kerja saya berhasil dengan gemilang, hal itu tidak akan saya jadikan sumber rasa percaya diri sejati saya. Rasa percaya diri itu akan dating dari kesadaran saya bahwa saya memiliki tekad untuk melakukan apa pun, sampai tujuan saya tercapai.

* Percaya diri harus dibentuk sebagai karakter. Tidak terpengaruh oleh keadaan diluar. Tetapi keadaan yang ada di dalam hati dan pikiran.

Sumber:  Barbara de Angelis, Confidence (Percaya Diri): Sumber Sukses dan Kemandirian, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2000

–o0o–


Leave a comment

Categories